TEROPONGPUBLIK.CO.ID <<<>>> Konflik agraria masih menjadi persoalan serius di Provinsi Bengkulu. Persoalan ini kerap muncul dari sektor pertanian, perkebunan, hingga pemanfaatan sumber daya alam. Untuk mencegah dampak yang lebih luas, Pemerintah Provinsi Bengkulu menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan kerja sama lintas sektor melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
Penegasan itu disampaikan Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan, didampingi Wakil Gubernur Mian, saat memimpin Rapat Koordinasi Pembahasan Reforma Agraria di Kantor Gubernur Bengkulu, Rabu (24/9). Helmi menekankan agar GTRA tidak sekadar menjadi wadah administratif, melainkan berperan aktif menjembatani kepentingan masyarakat, pemerintah, perusahaan, hingga aparat penegak hukum.
“Biasakan berdialog. Orang turun ke jalan karena tidak ada saluran komunikasi, maka pemerintah harus hadir lebih dulu. Gugus tugas ini harus proaktif menampung suara masyarakat, jangan menunggu sampai konflik besar terjadi. Semua unsur sudah ada, baik pemerintah, kejaksaan, kepolisian, BPN, maupun lembaga lainnya. Jika ada potensi konflik, segera duduk bersama mencari solusi terbaik,” ujar Helmi.
Data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Bengkulu mencatat, sepanjang 2023 hingga 2025 terdapat 16 kasus Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan (GUKP). Sejumlah kasus sudah berhasil ditangani baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, namun sebagian masih dalam proses penyelesaian.
Konflik agraria yang terjadi di Bengkulu cukup beragam. Mulai dari pendudukan lahan oleh masyarakat tanpa bukti kepemilikan sah, penolakan terhadap rencana pembangunan kebun kelapa sawit, hingga persoalan tumpang tindih izin lahan. Selain itu, ada pula masalah perusahaan yang menelantarkan lahan, perbedaan komoditas yang diganti tanpa kesepakatan, perusahaan yang belum mengantongi hak guna usaha (HGU), pencurian hasil perkebunan seperti tandan buah segar sawit atau getah karet, hingga tuntutan warga terkait pembangunan kebun plasma.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bengkulu, Indera Imanuddin, menambahkan bahwa proses penetapan tanah terlantar membutuhkan waktu panjang. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021, evaluasi hingga penetapan tanah terlantar bisa berlangsung 587 hari.
“Setelah hak atas tanah diberikan, baik hak guna usaha maupun hak guna bangunan, jika dalam dua tahun tanah tersebut tidak dimanfaatkan, maka pemerintah dapat menetapkannya sebagai objek tanah terlantar. Prosesnya memang cukup panjang, sehingga perlu kehati-hatian dan koordinasi yang intensif,” jelas Indera.
Rapat koordinasi ini juga dihadiri Ketua DPRD Provinsi Bengkulu Sumardi, Wakil Ketua I DPRD Teuku Zulkarnain, Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu Victor Antonius Saragih Sidabutar, Wakapolda Bengkulu Brigjen Pol Dicky Sondani, serta perwakilan tim GTRA lainnya.
Melalui forum ini, pemerintah daerah berharap terbangun kesepahaman yang lebih kuat antar pihak. Dengan adanya koordinasi yang terstruktur, potensi konflik agraria diharapkan dapat ditekan, sekaligus menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan lahan di Bumi Rafflesia.
Pewarta : Amg
Editing : Adi Saputra