BENGKULU - Malam itu, usai salat Isya, langit kota yang semula tenang berubah muram. Awan hitam menebal, lalu disusul hujan deras yang turun tanpa henti. Dalam waktu kurang dari satu jam, genangan air sudah mulai merambah ke sejumlah kelurahan. Air mengalir deras, menutup jalan, masuk ke parit yang tak lagi mampu menampung derasnya aliran, hingga akhirnya meluber ke pekarangan dan rumah-rumah warga.
Bagi sebagian orang, hujan malam seringkali membawa rasa syukur karena udara terasa lebih sejuk. Namun, bagi warga yang tinggal di kawasan rawan banjir, hujan deras justru menjadi mimpi buruk yang datang tiba-tiba. Mereka bergerak cepat, saling membantu, berupaya menyelamatkan barang-barang berharga agar tidak terendam. Lemari, kasur, kursi, hingga dokumen penting sebisa mungkin diangkat ke tempat lebih tinggi.
Suasana malam yang biasanya lengang berubah menjadi hiruk pikuk. Anak-anak digendong, orang tua dituntun, sementara para bapak dan pemuda setempat bahu membahu menjaga rumah dari derasnya air. Jalanan gelap hanya diterangi lampu senter dan cahaya redup dari rumah-rumah yang masih menyala. Suara hujan bercampur dengan seruan warga menambah suasana panik, meski semua berusaha tetap tenang.
Jam bergulir semakin larut. Di sebagian sudut kota, warga yang rumahnya aman dari genangan sudah terlelap dalam tidur. Tetapi, di lokasi yang dilanda banjir, tak ada kata istirahat. Wajah-wajah letih terpampang jelas, namun rasa cemas jauh lebih besar daripada rasa lelah. Mereka memilih berjaga, khawatir jika air tiba-tiba semakin meninggi.
“Kalau air naik lagi, kami harus siap-siap evakuasi. Jadi tidak bisa tidur nyenyak,” ungkap seorang warga sambil menatap halaman rumahnya yang sudah dipenuhi air setinggi lutut.
Mereka yang terdampak memang bisa berbaring, tetapi sulit memejamkan mata. Suara gemericik air, benda-benda yang terbawa arus, hingga bayangan akan datangnya banjir yang lebih besar terus menghantui. Setiap menit terasa panjang, seakan malam tidak kunjung berakhir.
Di sisi lain, ada pula warga yang sudah menyiapkan segala kemungkinan. Karung pasir dipasang di depan pintu, beberapa keluarga mengamankan kendaraan ke tempat yang lebih tinggi. Meski sederhana, langkah itu setidaknya memberi sedikit ketenangan di tengah ketidakpastian.
Harapan terbesar mereka hanya satu: hujan segera reda dan air perlahan surut. Sebab, jika air turun, pekerjaan berat pun sudah menanti. Lantai rumah yang dilapisi lumpur tebal, perabotan yang kotor, hingga bau tak sedap akibat genangan pasti menyelimuti ruangan. Membersihkan rumah pasca-banjir selalu menjadi tugas panjang yang melelahkan. Namun, itu tetap lebih baik dibanding harus kehilangan barang atau bahkan keselamatan.
Keesokan paginya, sebagian warga terlihat pasrah namun tegar. Ada yang mulai menguras air, ada pula yang menjemur barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Bagi mereka, banjir bukan hanya bencana, tetapi juga ujian kesabaran. Meski berulang kali dialami, tetap saja rasa khawatir tidak pernah hilang setiap kali hujan deras mengguyur.
Di tengah segala kesulitan itu, terlihat pula sisi lain: solidaritas. Para tetangga saling membantu, bergantian menjaga rumah, hingga berbagi makanan sederhana. Kebersamaan inilah yang membuat mereka mampu bertahan, meskipun banjir selalu datang tanpa mengenal waktu.
Penulis: Amg