Skip to main content

Senja di Bukit Pabes

Senja di Bukit Pabes

TEROPONGPUBLIK.CO.ID  <<<>>  Desir angin sore membelai lembut hamparan sawah yang menghijau di lembah Lebong. Dari atas Bukit Pabes, tampaklah rumah-rumah penduduk yang beratap seng dan berjejer rapi, diselingi pepohonan rindang. Cahaya matahari yang mulai meredup memancarkan rona keemasan, mewarnai puncak-puncak bukit yang mengelilingi lembah.

Lelaki tua itu, kakek Sardi, duduk di bangku kayu di depan gubuknya. Keriput di wajahnya menceritakan kisah panjang kehidupan di tanah Lebong. Matanya yang sayu menatap ke kejauhan, seolah melihat kembali kenangan masa lalu. Di tangannya tergenggam secangkir kopi robusta, aroma khasnya menyeruak di udara yang mulai dingin.

Lebong baginya bukan sekadar tempat tinggal. Tanah ini adalah bagian dari dirinya, terukir dalam setiap langkah kaki di jalan setapak, dalam setiap tetes peluh yang jatuh di ladang kopi, dan dalam setiap cerita yang dituturkan dari generasi ke generasi. Ia ingat betul masa-masa kejayaan tambang emas di Lebong Tandai, ketika denyut nadi ekonomi begitu terasa. Namun, ia juga menyaksikan perubahan, ketika gemerlap emas meredup dan masyarakat Lebong kembali mengandalkan kekayaan alam yang lain: kesuburan tanah dan keramahan penduduknya.

Cucu perempuannya, Risa, menghampirinya sambil membawa sebakul jagung rebus yang masih mengepulkan asap. “Kek, ini jagungnya sudah matang,” ujarnya sambil tersenyum manis.

Kakek Sardi membalas senyum cucunya. “Terima kasih, Risa. Mari kita nikmati senja yang indah ini bersama.”

Mereka berdua duduk berdampingan, menikmati jagung rebus yang manis dan hangat, sambil menyaksikan langit Lebong yang semakin jingga. Risa, dengan rasa ingin tahu khas anak muda, bertanya tentang cerita-cerita lama Lebong. Kakek Sardi dengan sabar menuturkan kisah tentang legenda Putri Gading Cempaka, tentang semangat gotong royong masyarakat dalam membangun desa, dan tentang keindahan Danau Tes yang selalu memukau.

Risa mendengarkan dengan saksama, sesekali menyela dengan pertanyaan. Ia bangga menjadi bagian dari tanah Lebong yang kaya akan sejarah dan budaya. Ia melihat bagaimana orang tuanya dan para tetangga bekerja keras di kebun kopi dan sayuran, menjaga tradisi, dan menyambut setiap pendatang dengan senyum tulus.

Senja semakin larut. Suara jangkrik mulai bersahutan, menambah syahdu suasana malam di Bukit Kandis. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, bagai kunang-kunang yang bertebaran di lembah.

Kakek Sardi menggenggam tangan cucunya.

“Ingatlah selalu, Risa,” katanya dengan suara pelan namun penuh makna, “tanah Lebong ini adalah warisan yang harus kita jaga. 

Kekayaan alamnya, budayanya yang luhur, dan semangat persaudaraannya adalah permata yang tak ternilai harganya.”

Risa mengangguk mantap. Ia merasakan kehangatan cinta tanah kelahiran yang diturunkan dari kakeknya. Ia berjanji dalam hati untuk ikut melestarikan keindahan dan kearifan lokal Lebong, agar kelak senja di Bukit Kandis tetap menjadi saksi bisu kedamaian dan keharmonisan di tanah kelahirannya.

Malam itu, di bawah langit Lebong yang bertaburan bintang, kakek Sardi dan Risa berbagi harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana keindahan alam dan kearifan lokal tetap menjadi jiwa dari Kabupaten Lebong.

Pewarta : Rifaldo Syahputra 

Editing : Adi Saputra